Kamis, 27 Juni 2013

Pesta Akhir Tahun


          Pagi ini dia bangun pukul 07.30. Memang sengaja. Kenapa? Karena hari ini ada "pesta besar" dalam beberapa bulan terakhir dimasa kelas sepuluhnya. Walaupun beberapa hari kedepan ia juga akan mendapat makan gratis lagi. Namun kali ini berbeda. Hari ini ada pesta makan-makan bersama teman-temannya. Hemm... nyam-nyam. Walaupun menu yang disajikan cukup sederhana, tapi tak menyurutkan semangatnya pagi ini. Setelah selesai merapikan tempat tidurnya ia segera keluar kamar untuk sarapan. Belum selesai ia melahap sarapannya pagi ini, HP-nya berdering. SMS datang... Ternyata itu pesan dari salah satu temannya. Setelah selesai membalas pesan itu dia kembali berkonsentrasi pada makanannya lagi. Kemudian setelah ia meneguk segelas air putih dingin, dengan sigap Vea menyambar handuk dan mulai membayur tubuhnya dengan air yang terasa cukup dingin baginya.

Semua sudah rapi. Mulai dari atas sampai bawah. Sambil menuntun sepeda jawanya keluar garasi Vea tetap menebar senyum meski di garasi tidak ada seorang pun. Setelah sepedanya siap, maka sebagai anak yang berbakti pada orang tua sebelum berangkat tak lupa Vea pamit pada orang tuanya. Dengan riang Vea mengayuh sepedanya di jalan raya yang penuh sesak dengan sepeda motor dan mobil. Rasanya ia sedang berada dalam lintasan balap! Hahaha..

Beberapa menit kemudian Vea sampai dirumah sahabatnya, Ully. Oh.. Ternyata disana sudah ada Mifta, teman sekelasnya sekaligus teman sebangkunya apabila Vea dan Mifta masuk ke kelas XI IPS 1. Disana, Vea dan Mifta bersenda gurau sembari menunggu Ully selesai mandi. Tapi.. Mifta nampak tak enak badan karena perutnya sakit gara-gara terlalu banyak makan sambal. "Hahaha suruh siapa sarapan kok pakai sambal," tawa Vea setelah Mifta mengakhiri ceritanya. Lima menit kemudian, Nina datang dengan wajah cerianya. Tak lama kemudian, Putra, Adi, Halim, Cahya, Tita, Tama dan beberapa teman lain datang secara bersamaan. Tak disengaja! Setelah itu Halim dan Cahya sibuk membantu Ully menyiapkan semuanya. Sementara Mifta sibuk dengan Facebook-nya, Putra sibuk dengan kegilaannya, Adi sibuk dengan handphone-nya, Tita sibuk dengan musik kesukaannya dan yang lain juga sibuk dengan urusan mereka sendiri-sendiri. Dan Vea? Entahlan dia sibuk dengan apa. Dia terlihat bingung. Akhirnya dia memutuskan untuk membantu Tama membuat Es Kelapa Muda. Setelah semua siap, dan semua personil anggota FantastiX-4 berkumpul acara inti pun dimulai: bakar-bakar ayam. Nyam-nyam. Juru masak utama dipegang oleh Mita selaku pembakar ayam handal, disusul Fian pada posisi menata ayam yang belum ataupun sudah dibakar lalu ada Tita di posisi bumbu, Vea di posisi mengolesi margarin dan Putra bersama Ully di posisi kipas. Oke, semua personil sudah siap dan... Mulai.

Tak sampai dua jam, sebanyak 32 potong ayam sudah selesai dibakar. Hemmm, bau harum ayam bakar ini sampai di depan hidung semua anggota FantastiX-4. Nasi, lalapan, minuman, piring, gelas, sendok dan si ayam bakar sudah siap dan sudah tertata rapi di lantai yang sudah dialasi tikar. Akhirnya, bak burung yang baru saja mendapat mangsa, semua menyerbu apa yang ada di hadapan mereka. Setelah mendapat jatah satu per satu mereka menikmati hidangan itu dengan lahap dan nikmat.

Tak sampai satu jam mereka melahap semua hidangan itu, mereka segera mencuci piring agar tak memberatkan tuan rumah (anak yang rajin). Baru saja selesai mencuci piring, hidangan penutup pun datang. Buah. Namun buah itu tak hanya dimakan begitu saja, tapi dibuat "lotisan". Waaa, mantap! Ada sambal level 1 dan 2. Level 1 terdiri dari 11 cabai rawit dan level 2 terdiri dari 19 cabai rawit.

Setelah agak lama, Vea, Cahya dan Asa bersepeda santai keliling desa nan sejuk dan indah. Hingga tak terasa waktu berajak senja. Satu per satu teman-teman Vea pulang. Dan sekarang hanya tinggal Vea, Cahya dan Halim. Entah kenapa mereka masih betah berada dirumah Ully. Mungkin, karena disana masih banyak makanan.. Hehe.. Vea diantar pulang oleh Ully karena sudah cukup sore. Vea cukup takut pulang sendirian sore-sore seperti ini, apalagi dia naik sepeda. Dengan senang hati Ully mengantarkan sahabatnya itu pulang kerumah. Jarak antara rumah Ully dan Vea tidak terlalu jauh, mungkin sekitar 2 kilometer.

Senja kali ini terasa indah untuk Vea, selain karena dia baru saja berpesta akhir tahun dengan teman-teman kelasnya sebagai bentuk perpisahan menjelang kenaikan kelas, dia juga merasa bahagia karena bisa menghabiskan sore ini bersama sahabat karibnya sejak SMP, Ully. Mereka menghabiskan sore ini dengan tertawa bersama di teras rumah Vea.



Rabu, 26 Juni 2013

Sejarah Padi

 Pukul 10.00 WIB bel sekolah berdering, menandakan saat istirahat tiba. Beberapa saat kemudian, lorong-lorong menuju kantin sudah dipenuhi para murid yang merasa cacing-cacing dalam perut mereka keroncongan. Disalah satu sudut kantin dekat jendela, tiga cowok idola para cewek sudah berkumpul seperti biasa.
Ersen    : “Buruan Sam, pesenin gw nasi goreng”
Denis    : “Sekalian pesenin gw soto ya”
Sam     : “Kalian pikir, saya pembantu kalian ya?!”
Ersen    : “Gak usah banyak ngomong deh, gek cepet kono
Sam     : “Bawel”
            Akhirnya Sam berlalu dengan suasana hati yang dongkol. Beberapa saat kemudian, Sam kembali kemeja teman-temannya dengan membawa setumpuk makanan pesanan teman-temannya dan juga makanannya sendiri.
Sam     : “Nih pesenan kalian”
Ersen    : “Thank’s ya Sam”
Denis     : “Gw jadi inget sesuatu pas gw liat nasi goreng loe Er”
Ersen    : “Kenapa sama nasi goreng gw?”
Denis     : “Pernah gak sih kalian tu mikir, nasi yang kalian makan tuh sejarahnya gimana?”
Samuel : “Saya pernah baca buku. Kata buku itu sih, beras berasal dari bulir-bulir benih padi dan padi itu termasuk rumput-rumputan”
Ersen    : “Kalo itu, aku yo ngerti
Denis     : “O.. gw inget! Denger-denger nih ya,menurut penelitian nenek moyang, padi tu dari delta sungai-sungai besar di Asia. Tapi gw lupa daerahnya. Hehe..”
Ersen    : “Daerah Gangga, Yangtze, Tigris sama Eufrat kan maksud loe?”
Samuel : “Nah, itu kamu tau Er. Kirain Cuma bisa makan aja. Haha..”
Ersen    : “Woo.. dasar Sam ki, waton omong
Denis     : “Udah-udah gak usah pada crewet. Terus tu ya, sebelum penelitian sama dihasilkan jenis-jenis padi yang baru, masa panennya tu satu tahun gitu katanya”
Samuel : “Kok kamu tahu Nis?”
Denis     : “Iyalah, kakekku yang di Klaten kan petani”
Ersen    : “Gw juga pernah baca di internet, tinggi padi tu sekitar 61-183 cm. Kalok bentuk batanya itu silinder panjang. Daunnya kayak jarum terus benihnya bisa dimakan”
Samuel : “Ciee.. Ersen pinter. Udah cocok jadi Pak Tani. Haha..”
Ersen    : “Dari dulu kale’. Emang gw kayak Denis yang gak pinter-pinter? Haha..”
Denis     : “Sialan loe. Udah yuk, balik sekarang. Gw belom ngerjain PR Kimia nih”
Samuel : “Huu.. Dasar anak malas!”
            Setelah itu, mereka berjalan menuju kelas dengan tawa khas yang menghiasi wajah cerah mereka.

Memang Bukan

Aku memang bukan orang yang pandai dalam merangkai sajak
Aku memang bukan orang yang pandai dalam mengalunkan nada
Aku memang bukan orang yang pandai dalam mengajarkanmu suatu hal yang besar
Aku memang bukan orang yang pandai dalam melukiskan senyum di wajahmu
Aku memang bukan orang yang pandai dalam mengobati rasa sakitmu
Tapi mungkin aku bisa tuk lukiskan kenangan dalam hatimu :)

Sahabat

Aku memang bukan bulan, bukan lilin ataupun bintang yang bisa menerangi gelapmu..
Aku memang bukan apa-apa dari bagian hidupmu, tapi izinkan aku terbang bersamamu dengan sayap-sayap patahku..
Ragaku memang tak selalu menjagamu, tapi izinkan hatiku tuk selalu bersamamu..
Bersamamu ku bahagia, aku merasa ada..
Tanpamu aku merasa berada dalam gurun sahara ..tanpa siapapun ! Sepi, sendiri dan sunyi
Bersamamu dapatku tempuh malam dingin, dapat ku lewati perihnya hati tersakiti karena "cinta", dapat ku pahami arti hidup ini..
Terasa ada walau tiada..
"sahabat"

Akhir Kisahku

Pernah ku tulis suatu kisah tentang kita saat kita bersama ..dulu
Namun kini kisah itu hanyalah tinggal deretan kata tak bermakna..
Dan kian terhapus karena tetesan air mata...
Mungkin memang hanya sampai disini cerita tentang kita...
Dan kini kau ukir kisah yang baru bersama dia...
Biarkan aku menyimpan ini sebagai bukti, bahwa aku sangat menyanyangimu
melebihi apapun itu..
Sepenggal kalimat dariku, selamat tinggal kasih aku pergi untuk tak kembali..

Sepucuk Rindu Dariku :)

Memori itu membawaku ke masa lalu
Bernostalgia bersama sejuta kenangan
Kenangan yang memaksaku untuk kembali mengingatmu
Mengingat segala tentangmu
Dan rasa ini kembali membuatku terpaku
Diam sejenak, mencoba menelaah
Dan akirnya tangis yang mengungkap semua
Semua yang ada dalam ingatan
Kemudian, ingatan itu menjadikanmu ada kembali 
dalam bayangku
Mengalun dengan lirih desah napasku
Napas yang terengah-engah karena
habis beradu dengan emosi jiwa ini
Tangis ini semakin menjadi, urat nadi ini semakin
nyata tergambar, melukiskan indah namamu
Setelah hening memecah malam, dan bulan bertemu
dengan gelap malam, lelah ini menghampiri
Pikirku kemudian melambung diterpa angin malam,
semoga terbang dan sampai di tempat tujuan,
di hatimu,
Agar engkau tahu, aku merindukanmu :')



Payung ini, Untukmu

Kemarin hari Minggu. Mendung. Seperti minggu-minggu yang lalu aku dan dia pasti menghabiskan hari minggu kami dengan hang out bersama. Indah rasanya. Dia Tama. Pacarku. Sudah hampir tiga tahun ku lewati hari bersamanya. Dirumah, disekolah dimanapun hampir selalu bersama. Sungguh hari Minggu yang indah. Tawa bersama, bergurau dalam canda dihiasi rintikan hujan yang menerpa payung biruku.

Pagi ini mendung. Hari Senin. Seperti biasa, aku datang paling awal dari teman-teman yang lain. Menunggu Tama yang biasanya datang pukul 06.15. Namun hari ini, sudah hampir setengah tujuh dia belum menampakkan diri. Bel tanda dimulainya pelajaran sudah berdering. Hatiku semakin kalut tak karuan. Ku lewati setiap jam disekolah dengan perasaan gundah. Tak tenang. Gundah, kalut, khawatir dan galau. Perasaan itu menghantui pikiranku hari ini. Sampai bel pulang sekolah terdengar, Tama tak juga menampakkan diri. Aku menangis.
Rintikan hujan dan sepoi angin menghiasi perjalananku menuju rumah Tama. Trotoar yang biasanya ramai dipenuhi pejalan kaki, namun hari ini sepi. Mungkin orang-orang takut dengan hujan. Namun bagiku, hujan merupakan kenangan. Aku membawa payung biruku, namun tak ku pakai karena aku berharap hujan bisa menghapus rasa gundahku. Hampir satu jam aku berjalan di bawah rintikan hujan yang semakin deras ku rasakan. Aku sampai di depan rumah Tama.

Suasana hening seketika, saat aku masuk dengan basah kuyup. "Ada apa ini? Mana Tama?" tanyaku dalam hati. Tak terasa aku menangis. "Tama sudah tenang disana, Eni", kata sesosok wanita paruh baya yang ternyata adalah ibu Tama. Aku mengetahui maksud dari kata itu. Tama meninggal. Aku membeku dalam bisu, terpaku dalam keheningan jiwaku.

Hujan telah reda. Saatnya menuju rumah baru Tama. Kuburan. Sepanjang perjalanan menuju rumah baru Tama aku mencoba ikhlas. Namun tak bisa. Taburan bunga dan tanah berwarna coklat kemerahan menyelimuti Tama. Batu nisan bertuliskan "Tama Andrean" berdiri tegak berwarna putih. Payung biruku, aku letakkan diatas gundukan tanah itu. "Biar Tama nggak keujanan" ucapku lirih.

Mencoba merelakanmu, Tama. Ku harap payung biruku bisa melindungimu dari hujan meski sekarang sudah tak ada lagi yang menjagaku. Do'aku selalu untukmu, Tama.
Mimpi ini Nyata Bersamamu

            Ddddeeeerrr! Gubrak! Suara gemuruh itu datang dari balik pintu bercat putih yang lumayan mengkilat. Tiba-tiba terdengar suara memanggil namaku. “Nirmalla bangun! Katanya mau jemput Nirma? Gimana sih, jam segini malah belum bangun?”. Bentak Kak Reza dari balik pintu kamarku dengan muka garangnya. “Huff… iya Kak, aku udah bangun kok. Udah sana buruan pergi”, jawabku seenaknya dengan mata masih terpejam. Selanjutnya, ku langkahkan kaki menuju jendela besar tepat didepan tempat tidurku. Embun segar membasahi kaca bening itu. Terlihat indah ditemani suara kicauan burung yang sedang melantunkan tembang bahagia. Rasanya burung itu mengerti perasaanku saat ini. Hari ini aku bahagia, kurasa sebentar lagi aku akan bisa mewujudkan segala mimpi-mimpiku bersamamu, Nirma. Sahabat kecilku dulu, yang menemaniku dalam melukiskan mimpi indah itu. Ku ajarkan padanya mimpi-mimpi itu, dan ternyata Nirma menikmatinya hingga kini. Dan hari ini, aku akan bertemu dengannya, setelah hampir enam tahun kami berpisah. Aku di Jogja dan ia di Bali. Kami sama-sama mengejar mimpi, namun kami masih punya satu misi besar dalam benak kami masing-masing.
            Pagi ini bandara Adisucipto terlihat masih lengang. Namun juga tidak terlalu sepi. Aku membawa papan nama berukuran 10x20 cm bertuliskan “NIRMA”. Takutnya dia lupa pada wajahku. Satu setengah jam aku menantinya, tak sia-sia memang. Setelah bertemu dalam suasana kerinduan, kami pulang membawa banyak cerita terpendam. Sepanjang perjalanan menuju rumah, kami hanyut dalam cerita tak berujung. “Sudah sampai!” kataku saat dia bercerita tentang kuliahnya di Pulau Dewata yang tiba-tiba aku potong. Setelah menurunkan kopernya, aku lalu menunjukkan kamarnya. Tepat disebelah kamar mungilku. Dia datang ke Jogja bukan untuk liburan, melainkan untuk mewujudkan mimpi-mimpi kami.
***
            Dulu, semasa kami masih menyandang predikat anak ingusan, dia nyaris tak percaya dengan mimpi. Tapi aku tak menyerah begitu saja untuk membuatnya percaya bahwa mimpi itu bisa menjadi kenyataan. Aku tak ingin mewujudkan mimpiku sendiri, apalagi mimpiku dan mimpinya nyaris sama. Aku bermimpi menjadi seorang pujangga  besar, ternama dan dikenal banyak orang. Aku ingin semua tulisanku ada disetiap toko buku. Dan mimpinya, juga tak jauh berbeda denganku. Dia ingin perpustakaan yang didalamnya terdapat puluhan ribu buku karyanya sendiri. Tapi dia tak seegois itu. Dia masih mau memberiku sedikit ruang dalam perpustakaannya. Dan menempatkan buku-buku kami di deretan paling depan dari semua buku yang ada. Itulah segelintir mimpi kami saat kami belum mengerti cara mengenggam dunia. Waktu yang membawa kami dalam dunia yang sesungguhnya. Dalam dunia yang nyata. Bukan hanya angan-angan belaka, namun harus berani mewujudkannya.
***
Sekarang, kami telah bermetamorfosa. Dari ulat yang menggelikan menjadi kupu-kupu elok nan rupawan. Kami telah mengerti medan yang sesungguhnya. Aku telah berulang kali mengirimkan karya-karya terbaikku ke berbagai penerbit ternama. Namun berulang kali pula hasilnya nihil. Nol. Ku ceritakan seluruh perjuanganku pada Nirma. “Rasanya, ingin kubakar saja semua tulisan murahan ini!” gertakku pada diri sendiri di depan Nirma. Hatiku berkecambuk, aku merasa tak pantas lagi bermimpi menjadi pujangga besar. Aku gagal. Benar-benar gagal. Tuhan, hapuskan semua mimpi ini, bangunkan aku dari mimpi buruk ini. Sore ini hujan, dan aku pun juga berharap hujan akan menghapus mimpi ini.Nirma, sahabatku, masih mengerti perasaanku yang gelisah ini. Dengan kesabarannya dia menuntunku untuk tetap berada pada jalur kebijakan. “Sudahlah Nir, mungkin belum saatnya. Aku percaya suatu saat nanti tulisanmu pasti ada disetiap toko buku dan akan ada di perpustakaanku.”
“Aku muak dengan semua ini, aku tak percaya lagi pada mimpi. Semua itu bohong! Mimpi hanya membuatku menjadi pengecut. Ingin ku akhiri semua mimpi murahan ini. Aku benci mimpiku sendiri. Tuhan, aku tak ingin jadi seorang pemimpi lagi. Aku ingin jadi orang yang biasa dan hidup tanpa mimpi!”. Tulisku pada sebuah buku persegi panjang berwarna cokelat yang selalu menemaniku saat aku sedang gundah. Sejujurnya, aku iri terhadap Nirma. Dia berhasil mendirikan perpustakaan impiannya, meski ada sebagian buku bukan hasil tulisannya. Ingin sekali aku memakinya, karena dia telah mendahului mimpi kami. Dulu, kami berjanji akan mewujudkan mimpi ini bersama-sama. Tapi takdir berkata lain, dia mendapat kesempatan itu terlebih dahulu, dan ia mengkhianatiku! Sahabat macam apa dia, yang tega mengkhianati sahabatnya sendiri?.  Aku marah pada Nirma. Aku benci padanya.
***
Pagi ini, aku menunjukkan sikap dinginku pada Nirma. Jelas saja aku masih marah. Tapi kenapa Nirma tak menyadarinya juga? Aaarrrgh.. menyebalkan sekali dia. Tanpa aku sadari, ternyata Kak Reza mengetahui bahwa aku sedang ada masalah dengan Nirma. Namun Kak Reza masih diam, bersikap seolah tak tahu apa-apa.
            Siang ini begitu terik sekali, aku malas berada dirumah. Akhirnya, aku putuskan untuk pergi tanpa memberitahu Nirma. Saat aku menutup pintu rumah, ternyata Kak Reza mengetahui kepergianku. Setelah aku masuk ke dalam salah satu taksi, ternyata Kak Reza membuntutiku dengan motor gedenya. Setelah aku menyadarinya, alhasil terjadilah acara kebut-kebutan dijalan raya. Suara motor gede Kak Reza mengelegar di jalanan. Segera saja aku putuskan untuk mengalah. Aku berhenti di dekat halte bus agar aksi kejar-kejaran ini berakhir. “Kamu ada masalah sama Nirma? Kenapa? Pergi kok nggak ngajak-ngajak Nirma? Kasihan lho dia dirumah cuma sama Bi Inah”, pertanyaan Kak Reza segera memenuhi otakku. “Nggak ada apa-apa kok, biasa aja. Biarinlah, dia kan juga bisa pergi sendiri. Nggak harus sama aku terus kan Kak? Udah, mendingan Kakak pergi aja sana, aku lagi pengen sendiri”, jawabku seenaknya.
            Setelah Kak Reza hilang dari pandangan, ku lanjutkan perjalananku ke kafe tempat biasa aku hangout bersama teman-teman lain. Di sisi lain, saat Kak Reza sampai dirumah, dia segera menghampiri Nirma yang tampaknya mulai menyadari perubahan sikapku. “Nirma, maafin Nirmalla ya. Kayaknya, kalian lagi ada masalah ya? Boleh Kakak tahu? Mungkin Kakak bisa bantu”, Kak Reza mulai pembicaraan. Dengan agak gugup, Nirma menjawab pertanyaan Kak Reza “emm, kayaknya iya deh Kak, mungkin dia marah sama aku gara-gara aku udah berhasil mewujudkan impianku. Tapi, apa aku salah Kak?”.
Matahari telah kembali ke peraduannya. Dan aku pun baru saja pulang kerumah. Tetap masih dengan sikap dingin. Tanpa menggubris sapaan Nirma, aku berjalan menaiki anak tangga untuk kembali ke kamarku. Saat sampai di lantai dua, aku lihat dari atas Nirma menangis tersendu-sendu. Namun, tetap saja aku tak merasa bersalah. Dan tetap bersikeras bahwa Nirma yang salah dalam hal ini.
Jam dinding menunjukkan angka 23.33. Hampir tengah malam. Tiba-tiba aku mendengar suara langkah kaki berjalan menuju kamarku. Aku takut, ingin sekali aku berteriak. Namun, sebelum aku berteriak, sesosok tubuh berpawakan tinggi memasuki kamarku tanpa mengetok pintu terlebih dahulu. Kak Reza. Setelah mengetahui bahwa itu Kak Reza, aku lalu berpura-pura sudah tidur dengan menutupi seluruh tubuhku dengan selimut yang terasa hangat ini, “Kakak tahu Nir, kamu belum tidur. Kakak mau ngomong sebentar saja, tolong dengarkan Kakak” suara Kak Reza membelah kesunyian malam itu. Aku sudah tahu arah pembicaraan Kak Reza. Tak mau lagi berlarut-larut memendam rasa kecewa ini, akhirnya aku putuskan untuk mendengarkan Kak Reza. “Iya Kak, ada apa? Apa Kakak mau membahas soal aku dan Nirma?” kujawab tanpa menatap mata Kak Reza. Setelah hampir satu jam kami beradu pendapat dengan bukti kami masing-masing, aku mulai luluh dengan kata-kata Kak Reza. Aku merasa bersalah telah menunjukkan sikap dingin pada Nirma.
Pagi ini udara terasa lebih dingin dari biasanya. Mungkin karena diluar sana sedang hujan. Aku melihat Nirma berdiri  termenung di depan jendela dengan tatapan kosong. Aku memberikan segelas teh hangat padanya sebagai awal pembicaraan kami. “Nirma, aku minta maaf”’ kataku dengan wajah menunduk tak berani menatap mata bening itu. “Iya, nggak papa Malla. Aku juga minta maaf telah mengingkari janji kita dulu”, jawab Nirma dengan senyum indahnya. Syukurlah, kami telah saling memaafkan dan meminta maaf. Dengan kata-kata indahnya, dia memberikan ide padaku untuk menuliskan sebuah kisah yang menurutku juga cukup baik untuk dijadikan sebuah bacaan.
***
Malam yang sunyi ini, aku menuliskan karya terbaikku, yang rencananya akan aku kirimkan ke penerbit ternama. Ditemani secangkir kopi buatan Bi Inah, aku mulai menuliskan kisah pilu “Rindu Seorang Anak Manusia Pada Tuhan”. Dengan semangat dan rasa ikhlas yang sudah aku bangun, akhirnya tulisan itu selesai dalam waktu sekitar satu bulan.
Siang yang terik membuat kami ingin menikmati hari ini di dalam rumah sambil meneguk segelas jus jeruk segar. Tiba-tiba saat aku buka e-mail, kudapati pemberitahuan yang mengejutkan. Benar kata Thomas A Edison, “banyak kegagalan dalam hidup ini disebabkan orang-orang tidak menyadari betapa dekatnya mereka dengan keberhasilan saat mereka menyerah”. Tapi aku tetap menyesal, mengapa aku dulu membuang semua tulisanku? Aaargh, lupakan saja itu masa laluku yang buruk.
Dua bulan kemudian, buku pertamaku terbit. Tidak tebal memang, hanya sekitar 59 halaman, namun aku tetap bersyukur. Akhirnya mimpiku jadi nyata, terimakasih kawan atas doa dan semangat darimu. Aku jadi ingat tentang sebuah film berjudul “Perahu Kertas”. Kata-kata yang sederhana dan ku ingat, mewakilkan perasaanku saat ini.
“Bersama kamu, aku tidak takut lagi jadi pemimpi”. Dan bersama sahabat karibku Nirma, aku tidak takut lagi jadi pemimpi, aku tidak takut lagi mewujudkan impianku, namun menjadi orang yang “mampu” mewujudkan mimpi dan berusaha untuk tidak mudah menyerah.
Terimakasih kawan.



A Thousand Years

Heartbeats fast
Colors and promises
How to be brave
How can I love when I’m afraid to fall
But watching you stand alone
All of my doubt suddenly goes away somehow
One step closer
I have died everyday waiting for you
Darling don’t be afraid I have loved you
For a thousand years
I love you for a thousand more
Time stands still
Beauty in all she is
I will be brave
I will not let anything take away
What’s standing in front of me
Every breathEvery hour has come to this
One step closer


I have died everyday waiting for you
Darling don’t be afraid I have loved you
For a thousand years
I love you for a thousand more
And all along I believed I would find you
Time has brought your heart to me
I have loved you for a thousand years
I love you for a thousand more
One step closer
One step closer
I have died everyday waiting for you
Darling don’t be afraid I have loved you
For a thousand years
I love you for a thousand more
And all along I believed I would find you
Time has brought your heart to me
I have loved you for a thousand years
I love you for a thousand more

 
Langit Biru Blogger Template by Ipietoon Blogger Template