Mimpi ini Nyata Bersamamu
Ddddeeeerrr! Gubrak! Suara gemuruh
itu datang dari balik pintu bercat putih yang lumayan mengkilat. Tiba-tiba
terdengar suara memanggil namaku. “Nirmalla bangun! Katanya mau jemput Nirma?
Gimana sih, jam segini malah belum bangun?”. Bentak Kak Reza dari balik pintu
kamarku dengan muka garangnya. “Huff… iya Kak, aku udah bangun kok. Udah sana
buruan pergi”, jawabku seenaknya dengan mata masih terpejam. Selanjutnya, ku
langkahkan kaki menuju jendela besar tepat didepan tempat tidurku. Embun segar
membasahi kaca bening itu. Terlihat indah ditemani suara kicauan burung yang
sedang melantunkan tembang bahagia. Rasanya burung itu mengerti perasaanku saat
ini. Hari ini aku bahagia, kurasa sebentar lagi aku akan bisa mewujudkan segala
mimpi-mimpiku bersamamu, Nirma. Sahabat kecilku dulu, yang menemaniku dalam
melukiskan mimpi indah itu. Ku ajarkan padanya mimpi-mimpi itu, dan ternyata
Nirma menikmatinya hingga kini. Dan hari ini, aku akan bertemu dengannya,
setelah hampir enam tahun kami berpisah. Aku di Jogja dan ia di Bali. Kami
sama-sama mengejar mimpi, namun kami masih punya satu misi besar dalam benak
kami masing-masing.
Pagi ini bandara Adisucipto terlihat
masih lengang. Namun juga tidak terlalu sepi. Aku membawa papan nama berukuran 10x20
cm bertuliskan “NIRMA”. Takutnya dia lupa pada wajahku. Satu setengah jam aku
menantinya, tak sia-sia memang. Setelah bertemu dalam suasana kerinduan, kami
pulang membawa banyak cerita terpendam. Sepanjang perjalanan menuju rumah, kami
hanyut dalam cerita tak berujung. “Sudah sampai!” kataku saat dia bercerita
tentang kuliahnya di Pulau Dewata yang tiba-tiba aku potong. Setelah menurunkan
kopernya, aku lalu menunjukkan kamarnya. Tepat disebelah kamar mungilku. Dia
datang ke Jogja bukan untuk liburan, melainkan untuk mewujudkan mimpi-mimpi
kami.
***
Dulu, semasa kami masih menyandang
predikat anak ingusan, dia nyaris tak percaya dengan mimpi. Tapi aku tak
menyerah begitu saja untuk membuatnya percaya bahwa mimpi itu bisa menjadi
kenyataan. Aku tak ingin mewujudkan mimpiku sendiri, apalagi mimpiku dan
mimpinya nyaris sama. Aku bermimpi menjadi seorang pujangga besar, ternama dan dikenal banyak orang. Aku
ingin semua tulisanku ada disetiap toko buku. Dan mimpinya, juga tak jauh
berbeda denganku. Dia ingin perpustakaan yang didalamnya terdapat puluhan ribu
buku karyanya sendiri. Tapi dia tak seegois itu. Dia masih mau memberiku
sedikit ruang dalam perpustakaannya. Dan menempatkan buku-buku kami di deretan
paling depan dari semua buku yang ada. Itulah segelintir mimpi kami saat kami
belum mengerti cara mengenggam dunia. Waktu yang membawa kami dalam dunia yang
sesungguhnya. Dalam dunia yang nyata. Bukan hanya angan-angan belaka, namun
harus berani mewujudkannya.
***
Sekarang,
kami telah bermetamorfosa. Dari ulat yang menggelikan menjadi kupu-kupu elok
nan rupawan. Kami telah mengerti medan yang sesungguhnya. Aku telah berulang
kali mengirimkan karya-karya terbaikku ke berbagai penerbit ternama. Namun
berulang kali pula hasilnya nihil. Nol. Ku ceritakan seluruh perjuanganku pada
Nirma. “Rasanya, ingin kubakar saja semua tulisan murahan ini!” gertakku pada
diri sendiri di depan Nirma. Hatiku berkecambuk, aku merasa tak pantas lagi
bermimpi menjadi pujangga besar. Aku gagal. Benar-benar gagal. Tuhan, hapuskan
semua mimpi ini, bangunkan aku dari mimpi buruk ini. Sore ini hujan, dan aku
pun juga berharap hujan akan menghapus mimpi ini.Nirma, sahabatku, masih
mengerti perasaanku yang gelisah ini. Dengan kesabarannya dia menuntunku untuk
tetap berada pada jalur kebijakan. “Sudahlah Nir, mungkin belum saatnya. Aku
percaya suatu saat nanti tulisanmu pasti ada disetiap toko buku dan akan ada di
perpustakaanku.”
“Aku
muak dengan semua ini, aku tak percaya lagi pada mimpi. Semua itu bohong! Mimpi
hanya membuatku menjadi pengecut. Ingin ku akhiri semua mimpi murahan ini. Aku
benci mimpiku sendiri. Tuhan, aku tak ingin jadi seorang pemimpi lagi. Aku
ingin jadi orang yang biasa dan hidup tanpa mimpi!”. Tulisku pada sebuah buku
persegi panjang berwarna cokelat yang selalu menemaniku saat aku sedang gundah.
Sejujurnya, aku iri terhadap Nirma. Dia berhasil mendirikan perpustakaan
impiannya, meski ada sebagian buku bukan hasil tulisannya. Ingin sekali aku
memakinya, karena dia telah mendahului mimpi kami. Dulu, kami berjanji akan mewujudkan
mimpi ini bersama-sama. Tapi takdir berkata lain, dia mendapat kesempatan itu
terlebih dahulu, dan ia mengkhianatiku! Sahabat macam apa dia, yang tega
mengkhianati sahabatnya sendiri?. Aku
marah pada Nirma. Aku benci padanya.
***
Pagi
ini, aku menunjukkan sikap dinginku pada Nirma. Jelas saja aku masih marah.
Tapi kenapa Nirma tak menyadarinya juga? Aaarrrgh.. menyebalkan sekali dia.
Tanpa aku sadari, ternyata Kak Reza mengetahui bahwa aku sedang ada masalah
dengan Nirma. Namun Kak Reza masih diam, bersikap seolah tak tahu apa-apa.
Siang ini begitu terik sekali, aku
malas berada dirumah. Akhirnya, aku putuskan untuk pergi tanpa memberitahu
Nirma. Saat aku menutup pintu rumah, ternyata Kak Reza mengetahui kepergianku.
Setelah aku masuk ke dalam salah satu taksi, ternyata Kak Reza membuntutiku
dengan motor gedenya. Setelah aku menyadarinya, alhasil terjadilah acara
kebut-kebutan dijalan raya. Suara motor gede Kak Reza mengelegar di jalanan.
Segera saja aku putuskan untuk mengalah. Aku berhenti di dekat halte bus agar
aksi kejar-kejaran ini berakhir. “Kamu ada masalah sama Nirma? Kenapa? Pergi
kok nggak ngajak-ngajak Nirma? Kasihan lho dia dirumah cuma sama Bi Inah”,
pertanyaan Kak Reza segera memenuhi otakku. “Nggak ada apa-apa kok, biasa aja.
Biarinlah, dia kan juga bisa pergi sendiri. Nggak harus sama aku terus kan Kak?
Udah, mendingan Kakak pergi aja sana, aku lagi pengen sendiri”, jawabku
seenaknya.
Setelah Kak Reza hilang dari
pandangan, ku lanjutkan perjalananku ke kafe tempat biasa aku hangout bersama teman-teman lain. Di
sisi lain, saat Kak Reza sampai dirumah, dia segera menghampiri Nirma yang
tampaknya mulai menyadari perubahan sikapku. “Nirma, maafin Nirmalla ya.
Kayaknya, kalian lagi ada masalah ya? Boleh Kakak tahu? Mungkin Kakak bisa bantu”,
Kak Reza mulai pembicaraan. Dengan agak gugup, Nirma menjawab pertanyaan Kak
Reza “emm, kayaknya iya deh Kak, mungkin dia marah sama aku gara-gara aku udah
berhasil mewujudkan impianku. Tapi, apa aku salah Kak?”.
Matahari
telah kembali ke peraduannya. Dan aku pun baru saja pulang kerumah. Tetap masih
dengan sikap dingin. Tanpa menggubris sapaan Nirma, aku berjalan menaiki anak
tangga untuk kembali ke kamarku. Saat sampai di lantai dua, aku lihat dari atas
Nirma menangis tersendu-sendu. Namun, tetap saja aku tak merasa bersalah. Dan
tetap bersikeras bahwa Nirma yang salah dalam hal ini.
Jam
dinding menunjukkan angka 23.33. Hampir tengah malam. Tiba-tiba aku mendengar
suara langkah kaki berjalan menuju kamarku. Aku takut, ingin sekali aku
berteriak. Namun, sebelum aku berteriak, sesosok tubuh berpawakan tinggi
memasuki kamarku tanpa mengetok pintu terlebih dahulu. Kak Reza. Setelah
mengetahui bahwa itu Kak Reza, aku lalu berpura-pura sudah tidur dengan
menutupi seluruh tubuhku dengan selimut yang terasa hangat ini, “Kakak tahu
Nir, kamu belum tidur. Kakak mau ngomong sebentar saja, tolong dengarkan Kakak”
suara Kak Reza membelah kesunyian malam itu. Aku sudah tahu arah pembicaraan
Kak Reza. Tak mau lagi berlarut-larut memendam rasa kecewa ini, akhirnya aku
putuskan untuk mendengarkan Kak Reza. “Iya Kak, ada apa? Apa Kakak mau membahas
soal aku dan Nirma?” kujawab tanpa menatap mata Kak Reza. Setelah hampir satu
jam kami beradu pendapat dengan bukti kami masing-masing, aku mulai luluh
dengan kata-kata Kak Reza. Aku merasa bersalah telah menunjukkan sikap dingin
pada Nirma.
Pagi
ini udara terasa lebih dingin dari biasanya. Mungkin karena diluar sana sedang
hujan. Aku melihat Nirma berdiri
termenung di depan jendela dengan tatapan kosong. Aku memberikan segelas
teh hangat padanya sebagai awal pembicaraan kami. “Nirma, aku minta maaf”’
kataku dengan wajah menunduk tak berani menatap mata bening itu. “Iya, nggak
papa Malla. Aku juga minta maaf telah mengingkari janji kita dulu”, jawab Nirma
dengan senyum indahnya. Syukurlah, kami telah saling memaafkan dan meminta
maaf. Dengan kata-kata indahnya, dia memberikan ide padaku untuk menuliskan
sebuah kisah yang menurutku juga cukup baik untuk dijadikan sebuah bacaan.
***
Malam
yang sunyi ini, aku menuliskan karya terbaikku, yang rencananya akan aku
kirimkan ke penerbit ternama. Ditemani secangkir kopi buatan Bi Inah, aku mulai
menuliskan kisah pilu “Rindu Seorang Anak Manusia Pada Tuhan”. Dengan semangat
dan rasa ikhlas yang sudah aku bangun, akhirnya tulisan itu selesai dalam waktu
sekitar satu bulan.
Siang
yang terik membuat kami ingin menikmati hari ini di dalam rumah sambil meneguk
segelas jus jeruk segar. Tiba-tiba saat aku buka e-mail, kudapati pemberitahuan
yang mengejutkan. Benar kata Thomas A Edison, “banyak kegagalan dalam hidup ini
disebabkan orang-orang tidak menyadari betapa dekatnya mereka dengan
keberhasilan saat mereka menyerah”. Tapi aku tetap menyesal, mengapa aku dulu
membuang semua tulisanku? Aaargh, lupakan saja itu masa laluku yang buruk.
Dua
bulan kemudian, buku pertamaku terbit. Tidak tebal memang, hanya sekitar 59
halaman, namun aku tetap bersyukur. Akhirnya mimpiku jadi nyata, terimakasih
kawan atas doa dan semangat darimu. Aku jadi ingat tentang sebuah film berjudul
“Perahu Kertas”. Kata-kata yang sederhana dan ku ingat, mewakilkan perasaanku
saat ini.
“Bersama
kamu, aku tidak takut lagi jadi pemimpi”. Dan bersama sahabat karibku Nirma,
aku tidak takut lagi jadi pemimpi, aku tidak takut lagi mewujudkan impianku,
namun menjadi orang yang “mampu” mewujudkan mimpi dan berusaha untuk tidak
mudah menyerah.
Terimakasih
kawan.